Tanggal 20 Mei sudah berlalu, alhamdulilah Indonesia masih aman sentosa. Sekarang sudah waktunya saya menjawab pertanyaan sebagian teman-teman mengenai pembacaan Al-Qur’an dengan langgam daerah yang heboh pada akhir-akhir ini. Dari kemarin saya menahan diri untuk tidak bekomentar apapun di media sosial mengenai langgam. Agar komentar saya tidak menguntungkan pihak manapun, jika saja cerita langgam ini memang sengaja dibuat untuk pengalihan isu aksi 20 Mei.
Beberapa hari ini saya lihat berbagai macam argument yang bertengger di timeline, baik yang pro ataupun kontra sudah mengeluarkan argumen-argumennya masing-masing. Nah saya tertarik untuk mengkritisi berbagai macam argumen serta sikap yang telah saya baca dan amati dari kemarin.
Pertama, mengenai “Asal langgam yang tujuh/maqamat syarqiyyah yang sering menjadi acuan para qari dunia.”
Jawaban:
Disini memang banyak tejadi perbedaan pendapat dari mana langgam yang tujuh itu berasal. Ada yang berpendapat dari Persia, adapula yang berpendapat dari nenek moyang orang Arab. Perbedaaan pendapat ini tentunya sangat wajar, mengingat tidak ada satupun orang yang mengetahui sejak kapan pastinya ilmu maqamat syarqiah ini ditemukan? Dan siapa orang pertama yang mengajarkannya?
Saya pernah menanyakan hal ini kepada salah seorang Syeikh di Mesir yang mahir dalam bidang maqamat, saya bertanya, “Sejak kapan maqamat syarqiah ditemukan di dunia??”
Syeikh tersebut menjawab, “Tidak ada yang tahu sejak kapan pastinya maqamat syarqiah tercipta, tapi yang jelas sudah lama sekali, bahkan ada yang mengatakan dari zaman Fir’aun sudah terdapat maqamat syarqiah.”
Dari berbagai macam perbedaan pendapat ini saya setuju dengan teman-teman yang mengatakan bahwa yang dimaksud “Luhun Arab” di hadits Nabi yang sering teman-teman kutip bukanlah tujuh langgam/maqamat syarqiah yang sekarang sering menjadi acuan para qari dunia.
Kedua, Mengenai “ Hukum membaca Al-Qur’an dengan menggunakan maqamat syarqiah/tujuh langgam yang masyhur.”
Jawaban:
Sebelum kita membahas apa hukum membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah, alangkah lebih baiknya jika kita bahas dulu apa hukumnya membaca Al-Qur’an dengan langgam yang tujuh/maqamat syarqiah.
Dalam hal ini para ulama terbagi kepada dua pendapat.
Pendapat pertama MENGHARAMKAN mutlaqan (tanpa qaid apapun). Mereka beralasan bahwa maqamat syarqiah ini menjadi Zariah (perantara) seorang qari kepada mempermainkan Al-Qur’an dengan mencederai tajwid karena mengikuti irama lagu, baik kesalahan tajwid karena memperpanjang huruf yang harusnya pendek, atau memperpendek huruf yang harusnya panjang ataupun bentuk kesalahan-kesalahan tajwid yang lainnya. Nah pendapat yang pertama ini tentunya mereka menggunakan qaidah “Sadduz Zariah” (antisipasi).
Pendapat kedua: Mereka MEMBOLEHKAN dengan syarat, yaitu harus benar-benar mengikuti qaidah ilmu tajwid, bukan ilmu tajwid yang mengikuti lagu. Nah, jika saja teman-teman yang pro dengan pendapat yang membolehkan membaca Al-Qur’an menggunakan langgam daerah melihat kepada perbedaan pendapat diatas tentunya tidak akan ada yang ngotot untuk mengatakan boleh dan tidak akan ada pula yang keberatan ketika ada yang mengatakan haram dengan alasan sudah menjadi tradisi daerah dan lain-lain, karena langgam yang tujuh/maqamat syarqiah saja, terdapat ulama yang mengharamkannya, padahal hal ini juga sudah menjadi tradisi bangsa Arab.
Ketiga: Mengenai “Hukum membaca Al-Qur’an dengan langgam Jawa ataupun dengan langgam lainnya yang diluar dari maqamat syarqiah.”
Jawaban:
Sebagaimana kita lihat dari kemarin para pakar sudah ada yang mengomentari hal ini, ada sebagian mereka yang mengharamkan, adapula yang membolehkan.
Saya mengapresiasi kepada teman-teman yang mengharamkan dengan mengambil qaidah “Sadduz zariah” (antisipasi), ditakutkan jika diperbolehkan maka akan banyak langgam yang bermunculan, tidak menutup kemungkinan diantara banyaknya langgam yang akan muncul terdapat langgam yang tidak layak dengan Al-Qur”an, bahkan cendrung merendahkan Al-Qur’an, bayangkan saja jika nanti ada yang membaca Al-Qur’an dengan langgam hip-hop.
Saya menyarankan kepada kelompok yang membolehkan membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah, agar menambahkan “dhawabit-dhawabit” (catatan-catatan) syarat-syarat tertentu dalam pembolehannya, jangan hanya dengan sekedar “dhawabit” (catatan) harus mengikuti qaedah ilmu Tajwid. Ini demi menjaga harkat martabat Al-Qur’an. Jika syaratnya hanya sekedar harus mengikuti ilmu Tajwid saja, maka tidak menutup kemungkinan akan ada pembacaan Al-Qur’an dengan langgam keroncong dengan dalih yang penting sesuai dengan ilmu Tajwid.
Keempat, Mengenai statemen, “Terlalu paranoid jika pengharaman langgam daerah karena takut kepada hal yang belum terjadi, enggak ada juga kali yang mau baca Al-Qur’an dengan langgam dangdut, emang kurang kerjaan apa?”
Jawaban:
Memang hal ini belum terjadi, tapi kita berpikir panjang untuk kedepan, waktu selalu berputar, manusia terus berkembang, gadget yang hari ini keren, lusa akan jadi gadget butut yang bikin minder orang yang memakainya. Secara sosial bisa dikatakan tingkat kreatifitas masyarakat kita lumayan tinggi. Tiga puluh tahun yang lalu mungkin tidak ada satupun orang yang terpikir untuk membuat ritme syair shalawat dengan ritme dangdut, tapi hari ini kita sudah menyaksikan bagaimana tembang Sekuntum Mawar Merah punya Rhoma Irama menjadi irama syair shalawat, terlepas pembicaraan layak atau tidaknya untungnya yang dibuat dari tembang dangdut ini hanya berbentuk syi’ir (sajak) bukan Al-Qur’an sehingga tidak terlalu penting kita ributkan.
Jika sekarang ada orang yang membaca Al-Qur’an dengan langgam dangdut kita akan bilang kurang kerjaan, bisa jadi besok lusa malah menjadi kerjaan anak cucu kita. Dari karena itu kita perlu untuk antisipasi atau paling tidak menambahkan syarat-syarat tertentu agar hal ini tidak terjadi.
Kelima: Mengenai statemen, “Yang pentingkan sesuai dengan ilmu tajwid.”
Jawaban:
Statemen seperti ini hanya akan keluar dari orang yang tidak pernah menyelami dunia maqamat syarqiah/lagu yang tujuh atau bahkan bisa jadi buta sama sekali dengan dunia tersebut. Semua orang yang menggeluti dunia maqamat pasti mengetahui betapa susahnya menyeimbangkan antara lagu dan tajwid, antara memikirkan waqaf ibtida yang benar sambil menyesuaikan dengan kemampuan nafas yang dimiliki.
Bayangkan jika anda menyetir mobil, tangan kanan sambil memegang hanphone, tangan kiri sambil memegang tasbih, dikursi belakang ada anak kecil yang bermain-main, di jalan yang padat dengan kecepatan tinggi. Tentunya anda harus bisa membagi konsentrasi dengan baik , jika anda kurang konsentrasi sedikit saja maka akan berhujung dengan kecelakaan.
Begitu juga orang yang membaca Al-Qur’an dengan maqamat secara mujawwad, konsentrasinya terbagi kepada ayat yang dia baca, tajwid, lagu, pengaturan napas.
Saya dari umur delapan tahun sudah bersentuhan dengan dunia maqamat sampai sekarang masih sering salah dalam Tajwid jika saya membaca Al-Qur’an dengan maqamat secara mujawwad, sampai sekarang saya masih belajar bagaimana caranya menyeimbangkan antara tajwid yang benar dengan lagu yang indah serta pengaturan napas yang baik. Jangankan seorang pemula seperti saya, qara qari Internasional yang namanya sudah masyhur ke seantero alam, yang mungkin tidak layak jika saya sebutkan nama-nama mereka, terkadang juga kesusahan untuk menyeimbangkan antara tajwid dan lagu. Hal itu terbukti dengan terdapat kritikan dari ulama-ulama pakar tajwid dunia kepada mereka.
Lima: Mengenai “Video langgam Magribi yang dijadikan penguat atas bolehnya membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah masing-masing.”
Jawaban:
Diantara yang beredar di timeline terdapat langgam magribi yang dijadikan penguat atas bolehnya membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah masing-masing. Saya mencoba untuk mendengarkan agar menghilangkan rasa penasaran saya seperti apa siih langgam Magrib tersebut. Setelah saya dengarkan memang terlihat sekali dari cengkoknya ciri khas magribi tapi langgam tersebut bukanlah langgam Magribi seutuhnya, yang dibaca qari adalah maqam hijaz dan maqam Nahawand yang juga termasuk dari bagian maqamat syarqiah/lagu yang tujuh.
Hal ini sekaligus menjadi jawaban kepada teman-teman yang menjadikan berbeda-bedanya langgam penduduk Negara Timur Tengah untuk menguatkan bahwa membaca Al-Qur”an dengan langgam daerah dibolehkan. Misalnya maqam Hijaz penduduk Arab teluk berbeda dengan maqam Hijaz penduduk Mesir. Perlu diketahui bahwa yang berbeda disini bukanlah langgamnya secara keseluruhan, tapi yang berbeda hanyalah karakter cengkoknnnya. Mayoritas langgam nasyid yang beredar di Timur Tengah saat ini rata-rata dari maqamat syarqiah, hanya ada sedikit nasyid langgam barat yang akhir-akhir ini bermunculan.
Enam: Mengenai “Vonis murtad atau kafir kepada orang yang membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah.”
Jawaban:
Vonis murtad atau kafir kepada setiap orang yang membaca Al-Qur’an dengan langgam daerah terlalu gegabah. Janganlah kita saling mengkafirkan, pembahasan takfir sangatlah dalam, bahkan sebagian ulama berpendapat bahwa seseorang hanya bisa divonis kafir setelah melalui proses pengadilan dan dinyatakan oleh qadhi bahwa seseorang tersebut sudah keluar dari agama Islam, mengingat besarnya bahaya jika semua orang punya hak untuk mengkafirkan siapapun. Makari kita lihat Syiria, Iraq, Afghanistan, Pakistan, yang porak-poranda, karena perang saudara. Semua itu terjadi bukan hanya karena hasrat politik belaka, tapi juga karena terlalu mudah dalam permasalahan takfir.
Kita tidak dapat memungkiri di Indonesia memang terdapat orang-orang yang anti dengan Arabisasi, sehingga terkesan alergi dengan segala hal yang berbau Arab. Dan kita juga tidak dapat menampik bahwa mereka sangat diuntungkan dengan kasus langgam ini. Padahal memisahkan Islam dengan Arab secara keseluruhan adalah sebuah keniscayaan.
Hal yang tidak boleh kita lupakan pula bisa jadi mereka gencar menyuarakan anti arabisasi sebagai bentuk balasan kepada orang-orang yang memposisikan sunnah yang juga kebetulan menjadi budaya Arab seakan menjadi kewajiban, bahkan ada yang sampai mengintimidasi orang yang tidak mengerjakan. Kita ambil contoh misalnya memakai gamis, semua kita sepakat bahwa memakai gamis bagian dari Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. tapi tentunya jangan sampai kita mengintimidasi orang yang tidak memakai gamis atau kita posisikan dia seperti orang yang meninggalkan kewajiban shalat. Mari kita ajak manusia kepada agama Allah dengan hikmah, mari kita ajak muslimin untuk menghidupkan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. dengan hikmah, bukan dengan memaksa.
Nah disini tugas kita untuk menengahi kedua kelompok ini. Pertama, kelompok yang fokus untuk memaksakan sunnah yang kebetulan berasal dari budaya Arab. Kedua, kelompok yang alergi dengan segala hal yang berbau Arab.
Ketujuh: Mengenai “Pertanyaan teman-teman kepada para masyaikh Al-Azhar dalam kasus ini serta jawaban para Masyaikh.”
Jawaban:
Kita tidak meragukan kapabelitas masyaikh disini tapi yang perlu kita ingat, sehebat- hebatnya keilmuan masyaikh disini tentunya pengetahuan mereka tentang budaya, sosial, politik Indonesia tidak akan sedalam pengetahuan yang jelas-jelas orang Indonesia, yang tumbuh berkembang di Indonesia. Saya yakin jika saja para masyaikh mengetahui bahwa dalam qadiyyah ini bukan hanya permasalahan langgam tapi disini juga terdapat permasalahan lain, seperti politik, budaya, sosial tentu beliau-beliau tidak akan memberikan jawaban kecuali setelah melalui pengkajian yang benar-benar dalam. Nah peran tashwirul mas’alah disini sangatlah penting.
Para Masyaikh disini mungkin beliau-beliau tidak mengetahui bahwa langgam yang dipertontonkan kepada Beliau juga dipakai untuk sindenan. Bahkan kemungkinan besar beliau-beliau juga tidak mengetahui apa itu sinden. Di Timur Tengah maqamat syarqiah bukan hanya dipakai untuk membaca Al-Qur’an tapi juga dipakai untuk musik bergenre Arabic. Nah keistimewaan maqamat syarqiah ini walaupun dasarnya mempunyai tujuh maqam tapi variasi-variasinya sampai ratusan bahkan ada yang mengatakan hingga ribuan, sehingga walaupun juga dipakai untuk membaca Al-Qur”an, tashawwur (penggambaran) orang yang mendengar tidak akan mentashawwurkan Ummi Kultsum atau Abdul Halim Hafez, karena memang tidak sama persis, yang sama hanya irama dasarnya saja.
Bagi saya yang bukan orang Jawa dan tidak terlalu mengenal budaya Jawa, ketika mendengarkan bacaan Al-Qur’an dengan langgam Jawa tashawwur yang ada dipikiran saya adalah sinden, saya tidak tahu apakah hal ini juga berlaku bagi teman-teman yang asli Jawa dan sangat mengenal budaya Jawa. Saking saya ingin mengetahuinya apakah langgam Jawa juga mempunyai banyak variasi seperti maqamat syarqiah, saya coba buka-buka Youtube. Setelah sekitar tujuh sinden berbeda saya dengarkan, saya dengarkan lagi bacaan Al-Qur’an langgam Jawa di Istana Negara, dan saya bandingkan, teryata di telinga saya tetap sama, tak ada beda antara irama yang digunakan Pak Yasser dengan Sinden. Mungkin ditelinga saya saja kali ya, telinga yang jarang mendengar sinden.
Dari karena itu kepada teman-teman yang bertanya kepada para masyaikh kemarin, untuk memahamkan kepada Beliau tashwirul masalah yang sesuai dengan apa yang terjadi di Indonesia sekarang, coba tanyakan seperti ini “Syeikh Apa hukumnya membaca Surah ” Wassyamsi wa duhaha” dengan maqam rast versi Ummi Kultsum di lagu “Gannini” atau surah “Wallaili iza yaghsya” dengan maqam Ajam/Jiharkah versi Gannat di lagu “Hubbi Gamid”?”. Jika di Mesir ada qari yang membaca Al-Qur’an dengan dua variasi di atas dalam acara resmi Negara, saya yakin Mesir tidak akan kalah ribut dari kita sekarang, bahkan mungkin lebih geger.
***
Semoga pemerintah kita bisa lebih matang dalam memilah-milih hal baru apa saja yang tidak bikin gaduh masyarakat. Jika saja tempat kejadian langgam ini di keraton Jogja atau di keraton Solo mungkin tidak akan seheboh ini. Tapi karena berhubung kasus ini terjadinya di Istana Negara, akhirnya pembicaraan menjadi panjang. Suka atau tidak suka kita harus mengakui bahwa keributan akhir-akhir ini bukan hanya karena permasalahan agama, bukan hanya karena urusan halal dan haram. Sentimen politik, Suku, Sosial, Tradisi turut ambil bagian dalam melanggengkan keributan ini, baik bagi kubu yang pro ataupun kontra.
Sekian beberapa catatan dari saya, mohon maaf jika ada khilaf. Semoga catatan ini bisa menjadi pendingin dunia persilatan, bukan malah menjadi kayu bakar di tengar kobaran api. Walau pendapat kita dalam kasus ini berbeda-beda. Semoga kita tetap rukun, tetap menjaga silaturrahmi, tetap bersaudara sebagai Umat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. (fimadani.com)
0 komentar:
Posting Komentar